Bank Pembiayaan Rakyat Syariah - Pertumbuhan pembiayaan yang tinggi di tengah pasar perbankan syariah yang sedang berkembang di Indonesia merupakan suatu yang didambakan. Akan tetapi, pertumbuhan pembiayaan yang tinggi bukan segalanya. Hal yang didambakan adalah pembiayaan dengan portfolio sehat dan tumbuh sesuai kebutuhan pasar. Oleh karena semangat tinggi dalam pertumbuhan, seringkali setelah pembiayaan diberikan bukan peningkatan pendapatan yang diperoleh. Hal yang muncul, justru permasalahan pembiayaan.
Pembiayaan bermasalah pada perbankan syariah mengalami peningkatan cukup berarti dalam dua tahun terakhir. Pada akhir 2005 gross NPF (Non Performance Finance) baru sekitar 2,82%, namun pada akhir 2006 meningkat tajam menjadi 4,75%, dan hingga akhir triwulan III-2007 berada pada posisi 6,63%. Peningkatan pembiayaan bermasalah pada industri perbankan syariah terjadi karena berbagai faktor, baik dari internal bank, internal nasabah, ataupun masalah eksternal.
a. Permasalahan Pembiayaan Bank Syariah
Permasalahan internal dari pihak bank syariah sebagai pemberi pembiayaan, secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- petugas pembiayaan, baik marketing maupun analis kurang memahami seluk beluk sektor usaha pada pembiayaan yang diberikan; - pembidangan pembiayaan belum dilakukan melalui spesialisasi segmen usaha, sehingga analis belum memiliki pendalaman terhadap satu atau beberapa sektor usaha yang dianalisanya;
- pemutus pembiayaan kurang mendapat informasi mengenai usaha dan sektor ekonomi yang dibiayai; - akad pembiayaan memiliki kelemahan, sehingga posisi bank syariah menjadi lemah;
- ketidakdisiplinan dalam melakukan monitoring, baik untuk pemenuhan persyaratan akad pembiayaan maupun perkembangan usaha nasabah; - kurang cepat tanggap dalam menyikapi permasalahan yang dialami oleh nasabah atas usaha yang dibiayai.
Permasalahan internal dari pihak nasabah pembiayaan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- kurang terbukanya atau kurang lengkapnya informasi yang diberikan nasabah pada saat proses pembiayaan;
- pembiayaan yang diberikan digunakan tidak sesuai dengan peruntukkan yang diperjanjikan dalam akad pembiayaan; - terjadi mismanagement pada usaha yang dijalankan nasabah;
- kondisi keuangan nasabah memburuk; - manajemen tidak memiliki kemampuan prima dalam mengelola perusahaan;
- nasabah tidak mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan kewajiban; - penerapan good corporate governance pada debitur lemah.
Permasalahan eksternal di luar pihak bank syariah ataupun nasabah yang dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah, dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- kondisi makro perekonomian kurang kondusif yang dapat mempengaruhi dunia usaha secara menyeluruh;
- regulasi domestik dan internasional yang dapat mempengaruhi usaha-usaha tertentu yang telah berjalan; - fluktuasi suku bunga bank kovensional masih menjadi pertimbangan dan alasan masyarakat dalam transaksi pembiayaan bank syariah;
- kondisi persaingan usaha yang semakin ketat menuntut modifikasi dan diversifikasi usaha secara terus menerus; - munculnya produk subtitusi terhadap sebuah produk pembiayaan yang dikenal selama ini;
- kelangkaan bahan baku yang dapat memperlambat atau menghentikan produksi; - terjadinya musibah bencana alam yang dapat menghambat proses produksi baik parsial maupun secara menyeluruh.
Memperhatikan hal-hal yang telah diidentifikasi di atas, maka semua lini dalam pembiayaan pada sebuah bank syariah harus dapat memahami kondisi-kondisi yang terjadi sehingga dapat meminimalisasi pembiayaan bermasalah baik saat pemberian maupun pada masa yang akan datang. Di samping masalah teknis pemberian pembiayaan, para personal yang terkait dengan pembiayaan harus memahami kondisi perekonomian pada saat pembiayaan diberikan serta prediksi ke masa depan.
b. Proyeksi Pembiayaan Perbankan Nasional
Berdasarkan survei Bank Indonesia, selama tahun 2007 secara umum permintaan masyarakat terhadap pembiayaan baru perbankan mengalami peningkatan. Faktor utama yang mendorong meningkatnya permintaan adalah peningkatan kebutuhan pembiayaan dan penurunan suku bunga kredit. Namun demikian, pembiayaan yang diberikan perbankan nasional masih di bawah target yang telah ditetapkan. Hal tersebut terjadi karena kondisi perekonomian yang belum membaik serta tingginya risiko usaha nasabah, sehingga bank masih menahan diri untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor ril.
Sektor-sektor usaha yang masih dihindari oleh perbankan dalam menyalurkan pembiayaan adalah:
- industri tekstil/garment karena kebijakan pemerintah dirasakan belum mendukung;
- industri pengolahan plywood dan produk dari kayu disebabkan untuk menghindari risiko illegal logging yang masih marak; - bangunan (khususnya mall) karena over supply sehingga berisiko tinggi.
Pada tahun 2008 diperkirakan pemberian kredit baru masih akan meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena tersedianya rasio kecukupan modal bank dan likuiditas perbankan di sisi internal bank. Sedangkan dari sisi eksternal, peningkatan terjadi karena kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong penurunan suku bunga serta tingkat persaingan antar bank dalam menyalurkan kredit.
Prioritas utama penyaluran pembiayaan pada tahun 2008, diperkirakan sebagian besar berupa modal kerja namun pembiayaan investasi juga akan mengalami peningkatan dari periode sebelumnya.
c. Sektor Unggulan Pembiayaan
Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang ditopang oleh sektor konsumsi rumah tangga dibandingkan produksi dunia usaha, maka hal ini juga tercermin pada kredit yang diberikan perbankan. Pemberian kredit baru paling besar terjadi pada pembiayaan konsumer serta sektor-sektor ekonomi yang mendukung konsumsi, yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa dunia usaha.
Sebagian besar isi dari pembiayaan kepada sektor jasa dunia usaha merupakan kredit konsumsi yang diteruskan kepada masyarakat melalui multi finance, koperasi simpan pinjam, dan lembaga-lembaga pembiayaan pemilikan rumah, kendaraan bermotor, dan barang konsumsi lainnya. Pertumbuhan pembiayaan konsumsi, selama 5 tahun terakhir, sangat signifikan. Pada akhir tahun 2002, baru berjumlah Rp80 trilyun atau 21,5% dari total kredit perbankan. Pada akhir September 2007 telah berjumlah Rp266 trilyun atau meningkat lebih tiga kali lipat dalam jangka waktu tidak sampai lima tahun. Komposisi pembiayaan konsumsi terbesar ada pada segmen konsumsi lainnya (bukan kredit pemilikan rumah, ruko ataupun apartemen) yang mencapai 70% lebih dari total kredit konsumsi nasional.
Pada tahun 2002, pembiayaan konsumer dianggap sebagai primadona karena memiliki NPL segmen relatif hanya 2,63% dengan nilai absolut sebesar Rp 2,1 trilyun. Namun per triwulan III-2007, NPL absolut segmen pembiayaan konsumer telah ikut berkembang lebih dari empat kali lipat, yakni mencapai Rp 8,8 trilyun. NPL relatif pembiayaan consumer, saat ini, mencapai 3,3%. Dengan demikian, meskipun NPL pembiayaan konsumer masih di bawah 5%, namun perlu diwaspadai lebih lanjut agar tidak menjadi permasalahan besar di kemudian hari.
Dari kondisi di atas, seharusnya perbankan syariah tidak mengikuti langkah perbankan konvensional yang mengucurkan pembiayaan dengan porsi besar terhadap pembiayaan konsumsi. Apalagi tujuan semula didirikannya perbankan syariah adalah untuk mendorong pertumbuhan sektor produktif di segmen mikro, kecil, dan menengah. Namun apa daya, masih banyak hal yang belum bisa dilakukan oleh pelaku bank syariah untuk mencapai sebuah idealisme akibat berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
0 comments:
Post a Comment